Kamis, 29 Oktober 2015

DI BALIK ESENSI SUMPAH PEMUDA BAGI PEMUDA ZAMAN INI



 
Kemarin tepat berada di tanggal 28 Oktober 2015. Kebanyakan dari kita pun mungkin lupa dengan tanggal itu. Kalau pun ingat, hanya sadar sepintas, lalu mengabaikannya kembali dan jikalau kita ingat, kita pun bingung bagaimana menyemarakkannya.
Yah, kemarin bertepatan dengan 87 tahun peringatan sumpah pemuda. Momentum dimana tonggak-tonggak sejarah bangsa ini telah mulai dibangun, di mana peristiwa-peristiwa besar akan menjadi sejarah kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal itu, bangsa Indonesia diingatkan oleh sebuah peristiwa penting yang telah mengubah zaman penindasan menuju zaman kebangkitan, yaitu peristiwa Sumpah Pemuda. Sumpah pemuda yang tertuang pada secarik kertas putih atas goresan tinta Muhammad Yamin dan disodorkan kepada Soegondo adalah bukti otentik keberanian pemuda untuk membela bangsa Indonesia. Pemuda Indonesia yang saat itu berkumpul dan bersatu menyatakan tekad bulatnya untuk bangkit dari penindasan kolonial Belanda melalui kongres keduanya.
Tahukah kita, bahwa saat dikumandangkan Sumpah pemuda tersebut, nama negara Indonesia belum ada di peta dunia, bangsa ini masih menggunakan nama Hindia Belanda. Sungguh hebat gagasan para pemuda bangsa yang mampu meraih cita-cita mereka, dan berhasil menciptakan bangsa Indonesia. Walaupun gagasan tersebut pada eranya hampir bisa dibilang tidak mungkin terjadi. Namun dengan kesungguhan dan rasa optimis, para pemuda Indonesia mampu membuat sejarah baru. Dengan kunci persatuan. Mereka yang berhasil mempersatukan kepulauan tersebut menjadi sebuah negara Indonesia adalah putra putri bangsa, sebuah gagasan yang luar biasa.
Lantas, bagaimanakah dengan putra putri bangsa Indonesia di zaman ini? Ketika Indonesia berada di usianya ke 70 tahun kemerdekaannya, ternyata semangat juang para pemuda pemudi Indonesia pun meredup. Tak ada lagi semangat nasionalisme segagah semangat mereka di zaman sumpah pemuda dikumandangkan. Modernisasi pun menjadi salah satu latar belakang lunturnya semangat juang serta semangat nasionalisme pemuda Indonesia. Globalisasi telah memakan sendi-sendi persatuan bangsa, terlebih moral generasi muda Indonesia. Degradasi moral pemuda bisa kita lihat ketika peristiwa anarkis akhir-akhir ini.
Sedih melihat bangsa ini. Peristiwa yang begitu luar biasa bisa terabaikan. Padahal tumpah darah dan jiwa raga mereka gadaikan saat itu untuk mencapai satu tujuan bersama, yakni kemerdekaan. Beginikah cara kita membalas jasa – jasa para pahlawan di medan juang untuk merebut kemerdekaan Indonesia? Beginikah cara kita menikmati kemerdekaan yang telah susah payah mereka perjuangkan? Ironi.
Kalaulah untuk mengingat dan menyemarakkan  peringatan sumpah pemuda saja kita masih susah apalagi dengan teks sumpah pemuda tersebut. Hal ini dibuktikan pula dengan salah satu berita di stasiun TV nasional yang memberitakan bahwa banyak pemuda yang tidak hafal dengan teks sumpah pemuda. Bahkan dengan fenomena tersebut, Polres Garut melakukan sidak ke jalan raya. Warga yang melintas di jalan tersebut ditanyai tentang teks sumpah pemuda. Alhasil, banyak warga sekitar yang kebanyakan para pemuda tidak hafal teks sumpah pemuda. Untuk hukumannya pun, petugas polisi memberikan sanksi tilang bagi warga yang tidak hafal teks sumpah pemuda. Mirisnya, kebanyakan warga yang ditilang karena tidak hafal teks sumpah pemuda yang didominasi oleh pemuda dan pemudi malah menangis. Berbanding terbalik jika ditanyai dengan lirik lagu pop yang lagi hits sekarang.
Lazimnya, ketika SD pasti kita akan disuruh oleh guru untuk menghafal teks sumpah pemuda. Tetapi setelah kita menghafalnya, guru pun hanya menilai hafalan kita saja tanpa menanamkan nilai patriotisme yang terdapat di balik peristiwa sumpah pemuda. Ini merupakah salah satu faktor banyaknya warga Indonesia terutama para pemudanya yang melupakan teks sumpah pemuda. Dalam benak mereka, tuntutan untuk menghafal teks sumpah pemuda itu hanya ketika disuruh guru untuk menghafalnya saja supaya dapat nilai yang tinggi. Setelah itu, dalam sekejap saja hafalan itu pun hilang sebab mereka menghafal kata demi kata bukan meresapi makna demi makna yang terkandung di balik teks sumpah pemuda tersebut.
Berbanding terbalik dengan hal di atas, jikalau banyak pemuda yang tidak hafal teks sumpah pemuda, mengapa kakek dan nenek kita yang telah berusia lanjut malah sangat fasih menghafal teks sumpah pemuda tersebut? Jawabanya simple. Bisa jadi kakek dan nenek kita itu melihat sendiri betapa gigihnya para pejuang yang mengumandangkan teks sumpah pemuda tersebut. Bahkan tidak menutup kemungkinan pula, kakek dan nenek kita termasuk pemuda pemudi yang ikut dalam deklarasi kongres sumpah pemuda di masa silam itu. Begitulah perbandingannya ketika para pemuda kita sekarang hanya sekedar menghafal tanpa meresai nilai – nilainya sedangkan kakek dan nenek kita yang menghafal dan meresapi nilai patriotisme di balik peristiwa luar biasa tersebut.
Memaknai peringatan sumpah pemuda saat ini tidaklah cukup hanya dengan melakukan kegiatan upacara yang sekedar ritual, ceremonial dan simbolis belaka. Tantangan para pemuda Indonesia saat itu berbeda dengan tantangan para pemuda Indonesia di masa silam. Para pemuda di masa kini tidak harus mengangkat senjata melainkan harus mengangkat pemikiran – pemikiran yang cerdas dan kreatif dalam membangun kejayaan bangsa Indonesia. Jika dengan sumpah pemuda yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928 silam para pemuda dapat memunculkan nama Indonesia menjadi ada di peta dunia, seharusnya pemuda masa kini dapat pula memunculkan nama Indonesia menjadi jaya di mata dunia dengan prestasi – prestasi positif yang membanggakan bukan dengan prestasi – prestasi buruknya.
Indonesia memerlukan sosok generasi muda yang berguna, bukan generasi tanpa guna. Modernisasi sejatinya mampu kita tepis dengan semangat terus berkarya positif dan mengabaikan gaya hidup bangsa Barat yang memang tidak sesuai dengan kearifan Indonesia. Kita bisa menyumbangkan pemikiran, karya untuk negeri ini melalui prestasi ataupun lainnya. Kita junjung semangat patriotisme, rasa cinta tanah air ini. Kita bangga mempunyai bahasa persatuan, bahasa Indonesia dan senantiasa melestarikan budaya lokal Indonesia. Bangsa ini tentu perlu generasi penerus yang mau maju dan berkiprah untuk negeri. Pada akhirnya, esensi dari semangat Sumpah Pemuda pada zaman ini akan jauh lebih baik walau harus menghadapi derasnya arus modernisasi.
Bersumpahlah bahwa kita semua menginginkan kebaikan bagi sesama masyarakat Indonesia, dan menggunakan segala upaya untuk memajukan masa depan bangsa Indonesia. :) 

#Izzatyanisahalhaqiir ~ 291015

Minggu, 03 Mei 2015

Mengenal Kitab I’anatuth Tholibin dan Pengarangnya



Oleh: Anisah Izzaty Al-Haqiir

A.   Mengenal Kitab I’anatuth Tholibin
I'anatuth Tholibin merupakan kitab karya Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi as-Syafi’I yang masyhur dengan julukan al-Bakri. Kitab ini adalah salah satu kitab yang sering menjadi rujukan primer bagi mayoritas santri dan pengikut mazhab Syafi’i di Indonesia. Kitab ini merupakan tulisan bermodel hasyiyah, yaitu berbentuk perluasan penjelasan dari tulisan terdahulu yang lebih ringkas. Sesuai namanya, kitab ini diperuntukkan santri yang mengkaji Fath al-Mu’in. Fath al-Mu’in sendiri adalah karya al-Allamah Zainuddin al-Malibari.
Sesungguhnya kitab ini merupakan kitab mashyor, meskipun tergolong kitab yang munculnya akhir kurun yang terkebelakang, yang lebih kurang berusia 130-an tahun. Kitab I’anatuth Tholibin merupakan syarah kitab Fath Al-Mu’in. Kedua kitab ini termasuk kitab-kitab fiqih Syafi'i yang paling banyak dipelajari dan dijadikan pegangan dalam memahami dan memu­tuskan masalah-masalah hukum. Dalam forum-forum bahtsul-masail (pengkajian masalah-masalah), kitab ini menjadi salah satu kitab yang sangat sering dikutip nash-nash­nya. Kemashyoran kitab ini dapat dikata­kan merata di kalangan para penganut Madzhab Syafi'i di berbagai belahan dunia Islam.
Latar belakang penulisan kitab ini seperti dituturkan pengarang dalam muqaddimah kitab ini berawal ketika beliau menjadi pengajar kitab syarah Fath al-Mu’in di Masjidil Haram. Selama mengajar itulah beliau menulis catatan pinggir untuk mengurai kedalaman makna kitab Fathul mu’in yang penting diingat dan perlu diketahui sebagai pendekatan dalam memahami. Lalu, sesuai penuturan beliau, beberapa sahabat beliau memintanya untuk mengumpulkan catatan itu dan melengkapinya untuk kemudian dijadikan satu kitab (hasyiyah) yang pada akhirnya bisa lebih bermanfaat untuk kalangan yang lebih luas.
Pada akhir kitab I’anatuth Tholibin ini yakni pada juz. IV disebutkan, selesai ditulis hasyiah ini adalah pada Hari Rabu ba’da Ashar, 27 Jumadil al-Tsani Tahun 1298 H. Kitab ini tergolong fiqh mutaakhkhirin. I’anatuth Tholibin memiliki kelebihan sebagai fiqh mutakhkhirin yang lebih aktual dan kontekstual karena memuat ragam pendapat yang diusung ulama mutaakhkhirin utamanya Imam al-Nawawi, Ibnu Hajar dan banyak lainnya yang tentunya lebih mampu mengakomodir kebutuhan penelaah akan rujukan yang variatif dan efektif. Yang menjadi rujukan dalam mengarang kitab ini adalah kitab-kitab fiqh Syafi’i mutaakhkhirin, yaitu Tuhfah al-Muhtaj, Fath al-Jawad Syarh al-Irsyad, al-Nihayah, Syarh al-Raudh, Syarh al-Manhaj, Hawasyi Ibnu al-Qasim, Hawasyi Syekh ‘Ali Syibran al-Malusi, Hawasyi al-Bujairumy dan lainnya sebagaimana beliau jelaskan dalam muqaddimah kitab ini.
Dalam buku Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, K.H. Sirajuddin Abbas mengatakan bahwa Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi, pengarang kitab I’anatuth Tholibin ini sangat berjasa memberikan pelajaran kepada mukimin-mukimin dari Indonesia, sehingga pada permulaan abad ke-14 H  banyak ulama-ulama murid dari beliau yang mengembangkan mazhab Syafi’i di Indonesia, sehingga ajaran itu merata di seluruh kepulauan di Indonesia. 

B.   Biografi Pengarang Kitab I’anatuth Tholibin
Kitab I`anatuth Tholibin adalah karya besar seorang tokoh ulama terkemuka Makkah abad ke-14 Hijriyyah (abad ke-19 Masehi), Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi as-Syafi’I yang masyhur dengan julukan al-Bakri. Tokoh yang nama sebenarnya Abu Bakar bin Muhammad Zainal Abidin Syatho ini lahir di Makkah tahun 1266 H/1849 M. Ia berasal dari keluarga Syatho, yang terkenal dengan keilmuan dan ketaqwaannya. Namun ia tak sem­pat mengenal ayahnya, karena saat ia baru berusia tiga bulan, sang ayah, Say­yid Muhammad Zainal Abidin Syatho, berpulang ke rahmatullah. Sayyid Abu Bakar Syatho merupakan seorang ulama’ Syafi’i, mengajar di Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah pada permulaan abad ke XIV.
Sayyid Bakri Syatho meninggal dunia tanggal 13 Dzul­hijjah tahun 1310 H/1892 M setelah me­nyelesaikan ibadah haji. Usianya me­mang tidak panjang (hanya 44 tahun me­nurut hitungan Hijriyyah dan kurang dari 43 tahun menurut hitungan Masehi), te­tapi penuh manfaat yang sangat dirasa­kan umat. Jasanya begitu besar, dan pe­ninggalan-peninggalannya, baik karang­an-karangan, murid-murid, maupun anak keturunannya, menjadi saksi tak terban­tahkan atas kebesarannya. Semoga Allah menempatkannya di surga.

NB: disarikan
dari berbagai sumber