Rabu, 04 November 2015

Esensi Ikhlas



Oleh : Drs. Kiai Muhyiddin Masykur
(Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kota Medan)
          Tanya: Ada seorang Mubaligh mengatakan: Allah tidak menerima amal kecuali amal itu ikhlas, mencari ridho Allah. Apakah orang yang membaca surah Yasin atau bersedekah dengan niat supaya dimurahkan rezekinya dan dihindarkan dari musibah itu bisa dikatakan ikhlas, bagaimana sebenarnya esensi atau hakikat ikhlas itu?
            Jawab: Tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah swt sesuai dengan firmannya : “Dan aku tidak jadikan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-dzariah:56). Sedangkan syarat diterimanya amal ibadah adalah ikhlas yaitu: ibadah itu dilaksanakan atas dasar ikhlas mencari ridho Allah sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi saw: “Allah tidak menerima amal ibadah melainkan yang dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah dan untuk memperoleh ridhonya.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
            Ikhlas dikalangan Ulama’ Sufi memiliki beberapa startifikasi atau tingkatan.  Tingkatan terendah adalah melakukan ibadah dengan harapan Allah swt akan memudahkan urusan duniawinya sebagai balasannya, seperti membaca Al-Qur’an surah Waqi’ah agar diberi kelancaran rezeki. Tingkatan menengah yaitu beribadah supaya memperoleh pahala atau surga dan terhindar dari dosa atau neraka. Tingkatan tertinggi bagi ikhlas adalah beribadah tanpa mengharap imbalan apapun, semata-mata menjalankan perintah untuk bertaqarub kepada Allah. Seakan-akan orang yang mencapai derajat ikhlas yang tertinggi ini berkata, “aku makhluk dan hamba yang sudah semestinya mengabdi kepada Allah swt, masalah ganjaran itu bukan urusan ku. Kewajiban ku adalah menjalankan perintahnya.” (Kifayah Al-Atqiyah:32)
            Dalam kitab I’anatut-Tholibin I/129 juga dijelaskan: “tingkatan ikhlas itu ada tiga, 1) tingkatan tertinggi ( ulya’) yaitu beramal ibadah hanya karena Allah semata, untuk mengikuti perintahnya dan melaksanakan hak kehambaannya. 2) tingkatan menengah (wustha) yaitu beramal ibadah utuk mendapatkan pahala di akhirat. 3) tingkatan terendah (dunya) yaitu beramal ibadah untuk mendapatkan kemuliaan di dunia dan keselamatan dari musibah. Selebihnya itu di namakan riya’ walaupun berbeda-beda caranya.
           
            Ikhlas itu bagian dari keharusan dalam beragama dan kesempurnaan iman, ia adalah rohnya amal dan beramal tanpa ikhlas bagaikan jasad tanpa nyawa, bagaikan pohon yang tidak berbuah dan awan yang tidak menghasilkan hujan.
Kebalikan ikhlas adalah riya’ yakni beribadah bukan karena Allah swt tetapi untuk memamerkan ibadahnya dihadapan manusia supaya dipuji dengan maksud-maksud tertentu. Riya’ itu juga dinamakan syirik kecil karena dosanya lebih kecil daripada syirik dalam pengertian menyekutukan Allah.
Jadi sebenarnya tidak ada larangan menggunakan bacaan Al-Qur’an, zikir-zikir, do’a-do’a atau bersedekah untuk kepentingan dunia  serta hajat-hajat yang baik sesudah niat ikhlas karena Allah, dan ini termasuk cara-cara bertawassul dengan amal-amal sholeh dan membaca Al-Qur’an dan hal ini hukumnya boleh, bahkan lebih cepat diterimanya, dan tidk ada perselisihan antar ulama’.(Madza fi sya’ban:112)
Dengan memperhatikan beberapa penjelasan di atas dapat di jelaskan bahwa beramal dengan harapan Allah akan melapangkan rezeki dan dijauhkan dari musibah itu termasuk ikhlas yang tingkatannya rendah. Wa Allahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar