Oleh : Drs. Kiai Muhyiddin
Masykur
(Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kota
Medan)
Tanya:
Ada seorang Mubaligh mengatakan: Allah tidak menerima amal kecuali amal itu
ikhlas, mencari ridho Allah. Apakah orang yang membaca surah Yasin atau
bersedekah dengan niat supaya dimurahkan rezekinya dan dihindarkan dari musibah
itu bisa dikatakan ikhlas, bagaimana sebenarnya esensi atau hakikat ikhlas itu?
Jawab: Tujuan hidup manusia
adalah untuk beribadah kepada Allah swt sesuai dengan firmannya : “Dan aku tidak
jadikan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepada-Ku.” (QS.
Adz-dzariah:56). Sedangkan syarat diterimanya amal ibadah adalah ikhlas
yaitu: ibadah itu dilaksanakan atas dasar ikhlas mencari ridho Allah
sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi saw: “Allah tidak menerima amal ibadah
melainkan yang dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah dan untuk memperoleh
ridhonya.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
Ikhlas dikalangan Ulama’ Sufi memiliki
beberapa startifikasi atau tingkatan. Tingkatan
terendah adalah melakukan ibadah dengan harapan Allah swt akan memudahkan
urusan duniawinya sebagai balasannya, seperti membaca Al-Qur’an surah Waqi’ah
agar diberi kelancaran rezeki. Tingkatan menengah yaitu beribadah supaya
memperoleh pahala atau surga dan terhindar dari dosa atau neraka. Tingkatan
tertinggi bagi ikhlas adalah beribadah tanpa mengharap imbalan apapun,
semata-mata menjalankan perintah untuk bertaqarub kepada Allah.
Seakan-akan orang yang mencapai derajat ikhlas yang tertinggi ini berkata, “aku
makhluk dan hamba yang sudah semestinya mengabdi kepada Allah swt, masalah ganjaran
itu bukan urusan ku. Kewajiban ku adalah menjalankan perintahnya.” (Kifayah
Al-Atqiyah:32)
Dalam kitab I’anatut-Tholibin
I/129 juga dijelaskan: “tingkatan ikhlas itu ada tiga, 1) tingkatan
tertinggi ( ulya’) yaitu beramal ibadah hanya karena Allah semata, untuk
mengikuti perintahnya dan melaksanakan hak kehambaannya. 2) tingkatan menengah (wustha)
yaitu beramal ibadah utuk mendapatkan pahala di akhirat. 3) tingkatan terendah (dunya)
yaitu beramal ibadah untuk mendapatkan kemuliaan di dunia dan keselamatan dari
musibah. Selebihnya itu di namakan riya’ walaupun berbeda-beda caranya.
Ikhlas itu bagian dari keharusan
dalam beragama dan kesempurnaan iman, ia adalah rohnya amal dan beramal tanpa
ikhlas bagaikan jasad tanpa nyawa, bagaikan pohon yang tidak berbuah dan awan
yang tidak menghasilkan hujan.
Kebalikan
ikhlas adalah riya’ yakni beribadah bukan karena Allah swt tetapi untuk
memamerkan ibadahnya dihadapan manusia supaya dipuji dengan maksud-maksud
tertentu. Riya’ itu juga dinamakan syirik kecil karena dosanya lebih kecil
daripada syirik dalam pengertian menyekutukan Allah.
Jadi
sebenarnya tidak ada larangan menggunakan bacaan Al-Qur’an, zikir-zikir,
do’a-do’a atau bersedekah untuk kepentingan dunia serta hajat-hajat yang baik sesudah niat
ikhlas karena Allah, dan ini termasuk cara-cara bertawassul dengan
amal-amal sholeh dan membaca Al-Qur’an dan hal ini hukumnya boleh, bahkan lebih
cepat diterimanya, dan tidk ada perselisihan antar ulama’.(Madza fi
sya’ban:112)
Dengan
memperhatikan beberapa penjelasan di atas dapat di jelaskan bahwa beramal
dengan harapan Allah akan melapangkan rezeki dan dijauhkan dari musibah itu
termasuk ikhlas yang tingkatannya rendah. Wa Allahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar