Minggu, 01 November 2015

“Buang Angin Itu Kan Dari Bokong, Kenapa Yang Harus Dibasuh Bukan Bokong?”



Sekitar berapa bulan yang lalu, salah satu sinetron baru ditayangkan di SCTV dengan judul “Gue Juga Islam” yang ditayangkan pukul 17.00 WIB setiap harinya. Mungkin sudah banyak yang melihatnya. Saya sempet penasaran dengan alur cerita sinetron tersebut, sebab judulnya sangat ambigu menurut saya, bukan karena saya yang gemar melihat sinetron ya.
Salah satu adegan yang saya amati yakni ketika Aksan (yang diperankan oleh Niki Tirta) sebagai seseorang yang baru mengenal Islam akan belajar tentang Islam lebih dalam kepada Bang Ali (yang diperankan oleh Idrus Madani). Aksan diajak Bang Ali untuk ikut sholat berjama’ah, namun sebelum itu Aksan harus mengambil wudhu terlebih dahulu. Setelah Aksan selesai mengambil wudhu, Aksan pun memasuki mesjid. Ternyata di dalam mesjid, Bang Ali sudah menunggunya. Bang Ali pun bertanya : “Uda siap loe wudhu, san?”. Aksan pun menjawab : “Uda bang, tapi tadi abis wudhu, kelepasan bang (buang angin)”. Bang Ali pun tertawa dengan ciri khas tawanya itu kemudian menyuruh Aksan wudhu lagi. Namun Aksan malah kebingungan dan berujar, “Kan yang “kentut” itu “pantat” bang! Kenapa harus wudhu lagi? Kan wudhu itu gak membasuh “pantat”?”. Bang Ali kembali tertawa dan kemudian menjawab, “kalo loe “kentut” di depan banyak orang, yang malu muka loe atau “pantat” loe?”. Aksan pun menjawab sambil tertawa malu, “muka bang”. Setelah mengerti maksud Bang Ali, Aksan pun wudhu kembali.
Menarik bukan alur ceritanya. Pernah tidak kita memikirkan hal tersebut atau pernah tidak kita menanyakkan hal tersebut atau bahkan pernah tidak kita mencari jawaban dari hal tersebut. Jawab sendiri di hati masing – masing saja ya. Banyak hal sepele yang sering kita lakukan, tetapi kita tak mau mencari tahu jawaban dan maksud di balik hal tersebut. Mungkin ada yang bilang itu kurang kerjaan atau tidak terlalu penting. Tetapi pernahkah kita ketahui bahwa Allah tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia – sia. Oleh sebab itu, segala hal yang diciptakan oleh Allah pasti punya maksud dan tujuannya. Hanya saja, kita sebagai manusia yang menjadi satu – satunya makhluk yang diberikan akal pikiran tidak mau untuk mencari tahunya. Padahal banyak hikmah yang Allah titipkan melalui semua ciptaan-Nya di alam ini.
Back to title, yuk. “Buang angin itu kan dari bokong, kenapa yang harus dibasuh itu bukan bokong?”. Mengulik dari hal tersebut, ternyata banyak kisah yang bisa menjawabnya. Salah satunya cerita berikut ini: ada seorang dusun (orang kampung) yang datang ke kota untuk mengobati bisulnya yang tumbuh di leher. Menurut kata orang - orang dikampungnya hanya dokterlah yang dapat mengobati penyakitnya. Lalu ia pun berkonsultasi kepada seorang dokter. Setelah mengadakan diagnosa seperlunya atas penyakit itu, lalu dokter menyuruh orang tersebut untuk membuka celananya agar diberi suntikan di pinggulnya. Orang dusun itu pun mulai ragu, dia berpikir bisul yang ada di leher kok pinggulnya yang disuntik. Setelah beberapa hari bisul tersebut juga tidak kunjung sembuh. Ia makin menyakini bahwa dokter tersebut bodoh. Nah, dari penggalan kisah tersebut, apa yang ada dipikiran kita? Siapakah yang salah dalam hal ini? Orang dusun tersebutkah? Ataukah dokternya? J
Jawaban Bang Ali pada adegan di sinetron tersebut terkesan seperti lelucon, tetapi padahal jawabannya adalah sebuah jawaban yang benar. Ketika kita buang angin di hadapan banyak orang, apalagi dengan suara yang keras, sudah tentu kita akan menjadi malu bukan. Tetapi bagian manakah yang akan terlihat malu? Wajahkah atau bokong? Dan jawaban Aksan tersebut sangat benar juga, sebab pasti wajah kita yang akan terlihat malu bahkan bisa jadi wajah tersebut akan berwarna merah padam atau bahkan kita akan langsung kabur menjauhi keramaian tersebut.
Berbicara masalah buang angin, bisa dikaitkan dengan masalah fiqh dong terutama pada masalah thoharoh dan berwudhu’. Ayuk kita bahas masalah fiqhnya. Di sini saya akan mengutip referensi dari salah satu kitab fiqh yakni Kitab Hasyiyah Syaikh Ibrohim al Bajuri ‘Ala fathul Qorib bil Mujib Juz I halaman 50, yakni sebagai berikut:
و اعلم أنهم قسموا الطهارة إلى عينية و حكمية : فالعينية هى التى لم تجاوز محل حلول موجبها كطهارة النجاسة, فإنها لا تتجاوز أى لا تتعدى المحل الذى حل فيه موجبها وهو النجاسة, إذ لا يجب غسل غير محلها. و الحكمية هى التى جاوزت محل حلول موجبها كاوضوء, فإنه تجاوز أى تعدى المحل الذى حل فيه موجبها وهو خروخ شىء من أحد السبيلين مثلا, إذ لم يقتصر على غسل ذلك المحل بل وجب غسل الأعضاء المعروفة.
Terjemahannya yakni berikut ini: “Dan ketahuilah bahwasanya mereka (ulama’ Fuqoha) membagi thoharoh (bersih atau suci) itu kepada Thoharoh ‘Ainiyyah dan Thoharoh Hukmiyyah: maka yang ‘Ainiyyah itu yaitu yang tidak melampaui ia akan tempat terjadinya yang menyebabkannya itu seperti menyucikan atau membersihkan najis. Maka sesungguhnya makna “tidak melampaui” itu berarti tidak melewati tempat berdiamnya sesuatu tersebut pada yang menyebabkan hal tersebut (hadirnya atau datangnya hal tersebut) dan yaitulah najis, karena tidak wajib membasuh selain tempatnya. Dan yang Hukmiyyah itu yaitu yang melampaui tempat terjadinya yang menyebabkannya itu seperti wudhu’, maka sesungguhnya makna “melampaui” itu berarti melewati tempat berdiamnya atau terjadinya sesuatu/hal tersebut pada yang menyebabkan hal tersebut (hadirnya atau datangnya hal tersebut) dan yaitulah keluarnya sesuatu dari salah satu dua jalan umpamanya (dubur dan qubul), karena tidak terbatas atas membasuh tempat tersebut bahkan wajib membasuh anggota – anggota tertentu”.
Nah, dari penjelasan di atas maka dapat diketahui dan difahami bahwa thoharoh itu terbagi dalam dua kelompok yakni kelompok thoharoh ‘ainiyyah dan thoharoh hukmiyyah. Thoharoh ‘ainiyyah adalah yang tidak melampaui penyuciannya dari tempat sebabnya seperti mencuci najis. Jika kita mencuci najis maka tidak lebih dari batas tempat dimana najis itu berada saja. Artinya yang disucikan itu adalah bagian benda yang terkena najis saja. Sedangkan thoharoh hukmiyyah itu adalah yang melampaui penyuciannya dari tempat sebabnya seperti halnya buang angin, menyentuh kemaluan, menyentuh bukan mahrom, dan sebagainya. Jika hal tersebut terjadi, maka thoharohnya atau cara menyucikannya adalah wajah, tangan, menyapu kepala dan membasuh kaki (berwudhu’). Artinya yang disucikan itu adalah hukumnya bukan bendanya.
Maka dari penjelasan ini terjawablah sudah. Di sini saya hanya mengambil satu referensi, jika teman – teman punya referensi yang lain, boleh dong bagi – bagi. Mudah – mudah kita dapat selalu mencari hikmah dan jawaban dari segala yang telah diciptakan Allah dan yang telah diperintahkan-Nya. Belajarlah dari hal yang sepele karena bisa jadi hal yang sepele itu malah menjadi hal yang sangat luar biasa. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar