Belakangan ini film dan
sinetron Indonesia sangat banyak mengambil tema mengenai perselingkuhan serta
orang ketiga yang menjadi wanita atau pria perusak rumah tangga orang lain.
Bahkan ternyata di dunia nyata pun, kasus tersebut sangat sering kita jumpai,
baik itu melalui pemberitaan di media informasi atau pernah pula terjadi pada
rekan dan kerabat kita. Sebab terjadinya
hal – hal tersebut pun beragam. Ada yang melakukan hal tersebut hanya karena
harta atau karena cinta buta. Bagi mereka yang lemah imannya, harta dan cinta
buta mungkin sangat mudah merasuk ke dalam hati mereka. Disebabkan oleh harta,
seseorang mau melakukan hal apapun, termasuk dengan merusak rumah tangga orang
lain. Baginya harta dapat membuatnya memiliki segala hal yang dia inginkan.
Oleh karena itu, harga diri pun digadaikan untuk mendapatkan keinginannya
tersebut. Ada pula yang melakukan hal tersebut disebabkan cinta buta.
Keinginannya untuk mencintai seseorang dan memiliki seseorang tersebut secara
utuh terkadang membutakan mata, hati dan fikiran. Disebabkan oleh cinta,
seseorang yang telah terlanjur mencintai pria/wanita yang telah berumah tangga
membuatnya nekat untuk merusak hubungan orang lain tersebut. Hal tersebut pun
banyak pula faktornya, mungkin saja disebabkan cinta yang terhalang restu orang
tua, si pasangan menikah dengan orang lain dan dia merasa dendam lalu merusak
rumah tangga si pasangannya tersebut. Sebab lain mungkin pula disebabkan cinta
yang tak tersampaikan, dikarena sesuatu si pasangan memutuskan dirinya dan
menikah dengan yang lain lalu dia pun rela menjadi yang kedua (selingkuhan /
simpanan) atau bisa juga dikarenakan dendam lalu ingin merusak rumah tangga si
pasangan kemudian merayunya untuk dapat menikah kembali dengannya. Terlalu
banyak faktor yang tak dapat dirincikan secara detail. Lantas, bagaimanakah
islam memandang problematika hal tersebut??? Bagaimanakah hukum merusak rumah
tangga orang lain????
Dalam pandangan Islam,
upaya-upaya apapun yang merusak keutuhan rumah tangga orang lain adalah haram.
Bahkan tindakan merusak hubungan rumah tangga orang lain termasuk dalam
kategori dosa besar. Salah satu argumentasinya adalah meminang (khitbah)
seorang perempuan yang sudah dipinang laki-laki lain saja dilarang, apalagi mendekati
dan merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya. Dalam sebuah hadits
dikatakan:
Rasulullâh
–shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ – رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -:
(( مَنْ خَبَّبَ عَبْدًا عَلَى أَهْلِهِ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ أَفْسَدَ
اِمْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا )) [حديث صحيح رواه أحمد والبزار وابن
حبان والنسائي في الكبرى والبيهقي]
Artinya:
Dari Abî Hurairah
–radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: “Rasulullâh – shallallâhu ‘alaihi wa sallam –
bersabda: ‘Siapa menipu dan merusak (hubungan) seorang hamba sahaya dari
tuannya, maka ia bukanlah bagian dari kami, dan siapa yang merusak (hubungan)
seorang wanita dari suaminya, maka ia bukanlah dari kami'”. [Hadîts shahîh
diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzâr, Ibn Hibbân, Al-Nasâ-î dalam al-Kubrâ dan
Al-Baihaqî].
Dari penjelasan singkat
ini maka dapat dipahami bahwa hubungan seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang statusnya masih bersuami adalah hubungan terlarang. Dan lelaki
tersebut dianggap sebagai perusak. Jika pada akhirnya keduanya bercerai,
kemudian si perempuan menikah dengan laki-laki selingkuhannya, apakah hubungan
terlarang tersebut berdampak bagi status hukum pernikahan mereka.
Bahkan Imam Al-Haitsamî
mengkategorikan perbuatan dosa ini sebagai dosa besar. Dalam kitabnya
Al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir beliau menyebutkan bahwa dosa besar yang ke
257 dan 258 yaitu merusak seorang wanita agar terpisah dari suaminya dan
merusak seorang suami agar terpisah dari istrinya. Alasannya, hadîts nabi
–shallallâhu ‘alaihi wa sallam – di atas menafikan pelaku perbuatan merusak ini
dari bagian umat beliau, dan ini terhitung sebagai ancaman berat. Juga para
ulama’ sebelumnya, secara sharîh (jelas) mengkategorikannya sebagai dosa besar.
(lihat Al-Zawâjir juz 2, hal. 577).
Pendapat yang sangat
keras pun disampaikan oleh Madzhab Maliki. Jika ada seseorang laki merusak
hubungan seorang istri dengan suaminya, kemudian suaminya menceraikan perempuan
tersebut, lantas laki-laki yang merusak hubungan itu, setelah selesai masa
iddah, menikahinya maka pernikahannya harus dibatalkan, walaupun setelah
terjadi akad nikah. Sebab terdapat kerusakan dalam akad.
وَقَالَ الشَّيْخُ عَلِيٌّ الْأَجْهُورِيُّ رَحِمَهُ اللهُ
تَعَالَى مَا نَصُّهُ ذَكَرَ الْأَبِيُّ مَسْأَلَةً مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى
زَوْجِهَا أَنَّهُ يُفْسَخُ , وَلَوْ بَعْدَ الْبِنَاءِ , فَإِنَّهُ نُقِلَ عَنْ
ابْنِ عَرَفَةَ أَنَّ مَنْ سَعَى فِي فِرَاقِ امْرَأَةٍ لِيَتَزَوَّجَهَا فَلَا
يُمْكِنُ مِنْ تَزْوِيجِهَا وَاسْتَظْهَرَ أَنَّهُ إنْ تَزَوَّجَ بِهَا يُفْسَخُ
قَبْلَ الْبِنَاءِ وَبَعْدَهُ لِمَا يَلْزَمُ عَلَى ذَلِكَ مِنْ الْفَسَادِ
“Syaikh Ali al-Ajhuri ra berkata—bunyinya adalah—bahwa al-Abiyyu menjelaskan
masalah orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya, bahwa
pernikahan keduanya (lelaki yang merusak dan wanita yang dirusak) itu harus
dibatalkan walau setelah akad nikah. Pandangan ini sebenarnya dinukil dari Ibnu
Arafah yang menyatakan, bahwa barang siapa yang berusaha memisahkan seorang
perempuan dari suaminya agar ia bisa menikahi perempuan tersebut, maka tidak
mungkin baginya (tidak diperbolehkan, pent) untuk menikahinya. Dan hal ini
menjadi jelas bahwa jika lelaki menikahihnya maka pernikahannya harus
dibatalkan baik sebelum atau sesudah akad karena hal itu menyebakan kerusakan
dalam (akad, pent)” (Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ‘Alisy, Fath al-‘Ali
al-Malik fi al-Fatwa ‘ala Madzhab al-Imam Malik, Bairut-Dar al-Ma’rifah,
tt, juz, 1, h. 397)
Jika kita cermati pandangan Madzhab Maliki di atas, maka
konsekwensinya adalah pihak perempuan yang telah diceraikan suaminya haram
dinikahi oleh si lelaki yang menyebabkan perceraian tersebut selama-lamanya.
Namun ada juga pandangan lain dari Madzhab Maliki yang
menyatakan bahwa yang demikian itu tidak selamanya haram dinikahi. Dan hal ini
dianggap tidak bertentangan dengan pandangan di atas yang menyatakan harus
dibatalkan baik sebelum akad maupun setelahnya.
مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَطَلَّقَهَا
زَوْجُهَا ثُمَّ تَزَوَّجَهَا الْمُفْسِدُ الْمَذْكُورُ بَعْدَ انْقِضَاءِ
عِدَّتِهَا فَلَا يَتَأَبَّدُ تَحْرِيمُهَا عَلَيْهِ وَذَلِكَ لَا يُنَافِي أَنَّ
نِكَاحَهُ يُفْسَخُ قَبْلَ الْبِنَاءِ وَبَعْدَهُ
“Barang
siapa merusak hubungan seorang istri dengan suaminya kemudian si suami
menceraikannya, lalu si lelaki perusak tersebut menikahinya setelah selesai
masa iddah maka keharaman perempuan tersebut atas si lelaki perusak tidak
menjadi selamanya. Dan hal itu tidak bertentangan dengan pandangan yang
menyatakan bahwa pernikahannya harus dibatalkan sebelum akad atau sesudahnya.”
(‘Ali al-‘Adwi, Hasyiyah al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Ali al-‘Adwi pada Hamisy Abi
‘Abdillah Muhammad al-Kharsyi, Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil,
Bulaq-al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1317 H, juz, 3, h. 170-171)
Dalam kategori kaidah fiqih: man ta’ajjala syai-an qabla
awânihi ‘ûqiba bihirmânihi (siapa yang terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum
saatnya, maka ia dihukum dengan tidak diperkenankan mendapatkan sesuatu itu).
Kaidah ini pada asalnya berlaku bagi seseorang yang melamar dengan kata-kata
sharîh seorang wanita yang masih dalam masa iddah (tunggu) pasca kematian
suaminya. (Q.S. Al-Baqarah: 235). Logikanya, jika melamar dengan kata-kata
sharîh terhadap seorang wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian
suaminya saja tidak dibenarkan, padahal dalam hal ini tidak ada aspek perusakan
yang berakibat terciptanya perceraian wanita itu dari suaminya (karena memang
suaminya telah meninggal), maka, jika ada seseorang yang merusak seorang wanita
yang masih bersuami, sehingga tercipta perceraian wanita itu dari suaminya,
hukumnya tentunya lebih berat daripada yang dimaksud dalam kaidah fiqih ini.
Untuk itulah, jika akan terjadi pernikahan antara sang lelaki perusak hubungan
dengan wanita “korban” tindakan perusakannya, maka, hal ini harus dicegah, dan
jika sudah kadung terjadi pernikahan di antara keduanya, maka, pernikahan itu
harus dibatalkan.
Sedang menurut Madzhab Hanafi dan Syafii perusakan terhadap
hubungan istri dengan suaminya tidak mengharamkan pihak yang merusak untuk
menikahinya. Tetapi pihak yang merusak itu termasuk orang yang paling fasik,
tindakannya merupakan maksiat yang paling mungkar dan dosa yang paling keji di
sisi Allah swt.
اَلْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ قَالُوا: إِنَّ إِفْسَادَ
الزَّوْجَةِ عَلَى زَوْجِهَا لَا يُحَرِّمُهَا عَلَى مَنْ أَفْسَدَهَا بَلْ
يَحِلُّ لَهُ زَوَاجُهَا وَلَكِنْ هَذَا الْإِنْسَانُ يَكُونُ مِنْ أَفْسَقِ
الْفُسَّاقِ وَعَمَلُهُ يَكُونُ مِنْ أَنْكَرِ أَنْوَاعِ الْعِصَيَانِ وَأَفْحَشِ
الذُّنُوبِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Para
ulama Madzhab Hanafi dan Syafii berpendapat bahwa perusakan hubungan seorang
istri dengan suaminya tidaklah menyebabkan haram bagi pihak laki-laki yang
merusakknya untuk menikahinya, bahkan menikahinya itu halal bagi bagi si lelaki
perusak. Tetapi si perusak ini termasuk orang yang paling fasik, tindakannya
termasuk salah satu kemaksiatan yang paling mungkar, dan dosa yang paling keji
di sisi Allah swt kelak pada hari kiamat.
Terlepas dari perbedaan pandangan para ulama mengenai hukum
pernikahan orang yang merusak rumah tangga orang lain, yang jelas tindakan
tersebut adalah masuk kategori dosa besar, dan sudah seharusnya dihindari.
Dengan pertimbangan saddudz-dzariah (menutup jalan keburukan), maka
pandangan dari Madzhab Maliki yang menyatakan bahwa lelaki yang merusak
hubungan seorang istri dengan suaminya diharamkan untuk menikahinya selamanya,
hemat kami perlu dijadikan pertimbangan.
Adapun beragam bentuk dan cara seseorang merusak hubungan
diantara suami istri, di antaranya adalah:
1. Berdoa dan memohon kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- agar
hubungan seorang wanita dengan suaminya menjadi rusak dan terjadi perceraian di
antara keduanya.
2. Bersikap baik, bertutur kata manis dan melakukan berbagai macam
tindakan yang secara lahiriah baik, akan tetapi, menyimpan maksud merusak
hubungan seorang wanita dengan suaminya (atau sebaliknya). Perlu kita ketahui
terkadang sihir itu berupa tutur kata yang memiliki kemampuan “menghipnotis”
lawan bicaranya. Rasulullâh –shallallâhu ‘alahi wa sallam- bersabda:
“Sesungguhnya sebagian dari sebuah penjelasan atau tutur kata itu adalah
benar-benar sihir”. (H.R. Bukhârî dalam al-Adab al-Mufrad, Abû Dâwud dan Ibn
Mâjah.
3. Memasukkan bisikan, kosa kata yang bersifat menipu dan memicu,
serta memprovokasi seorang wanita agar berpisah dari suaminya (atau
sebaliknya), dengan iming-iming akan dinikahi olehnya atau oleh orang lain,
atau dengan iming-iming lainnya. Perbuatan seperti ini adalah perbuatan tukang
sihir dan perbuatan syetan (Q.S. Al-Baqarah: 102). Rasulullâh –shallallâhu
‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya Iblis menempatkan singgasananya di
atas air, lalu menyebar anak buahnya ke berbagai penjuru, yang paling dekat
dengan sang Iblis adalah yang kemampuan fitnahnya paling hebat di antara
mereka, salah seorang dari anak buah itu datang kepadanya dan melapor bahwa
dirinya telah berbuat begini dan begitu, maka sang Iblis berkata: ‘kamu belum
berbuat sesuatu’, lalu seorang anak buah lainnya datang dan melapor bahwa dia
telah berbuat begini dan begitu sehingga mampu memisahkan antara seorang suami
dari istrinya, maka sang Iblis menjadikan sang anak buah ini sebagai orang yang
dekat dengannya, dan Iblis berkata: ‘tindakanmu sangat bagus sekali’, lalu
mendekapnya”. (H.R. Muslim [5032]).
4. Meminta, atau menekan secara terus terang agar seseorang wanita
meminta cerai dari suaminya atau agar seorang suami menceraikan istrinya dengan
tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa
sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya)
agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar
sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang
telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).
Bentuk-bentuk seperti ini sangat tercela, dan termasuk dosa
besar jika dilakukan oleh seseorang kepada seorang wanita yang menjadi istri
orang lain, atau kepada seorang lelaki yang menjadi suami orang lain.
Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan terlarang ini,
adakah ia perlu mendapatkan hukuman di dunia? Para ulama’ berpendapat bahwa
perbuatan terlarang seperti ini, jika ada yang melakukan, maka hakim
berwewenang menjatuhkan ta’zîr (hukuman yang ketentuannya ditetapkan oleh hakim
atau penguasa) dengan syarat tidak melebihi bobot 40 cambukan. Di antara mereka
ada yang berpendapat, hukumannya adalah kurungan penjara sampai ia menyatakan
tobat atau meninggal dunia (sebagian penganut Mazhab Hanafî) Di antara mereka
ada yang berpendapat pula, cukup diberi cambukan keras saja, dipublikasikan
perbuatannya, agar orang waspada darinya dan agar orang lain mengambil ibrah
(sebagian penganut madzhab Hanbalî). Bahkan Imam Ibnul Qoyyim mengatakan
tentang hukum merusak hubungan wanita dengan suaminya: "Perbuatan ini
termasuk salah dosa besar, Sebab, jika syari'at melaraang meminang pinangan
saudaranya, maka bagaaimana halnya dengan orang yang merusak isterinya, serta
berusaha memisahkan di antara keduanya sehingga dia bisa berhubungan dengannya.
Perbuatan dosa ini tidak kurang dari perbuatan keji (zina), walaupun tidak
melebihinya, dan hak lain tidak gugur dengan taubat dari kekejian. Karena
taubat, meskipun telah menggugurkan hak Allah, namun hak hamba masih tetap ada.
Menzalimi seseorang (suami) dengan merusak isterinya dan kejahatan terhadap
ranjangnya, hal itu lebih besar dibandingkan merampas hartanya secara zalim.
Bahkan, tidak ada (hukuman) yang setara disisinya kecuali (dengan)
mengalirkan darahnya." (al-manawi dalam Faaidhul Qadiir)
Semoga kita terhindar dari hal – hal tersebut. WaAllahu
A’lam.