Rabu, 04 November 2015

Esensi Ikhlas



Oleh : Drs. Kiai Muhyiddin Masykur
(Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kota Medan)
          Tanya: Ada seorang Mubaligh mengatakan: Allah tidak menerima amal kecuali amal itu ikhlas, mencari ridho Allah. Apakah orang yang membaca surah Yasin atau bersedekah dengan niat supaya dimurahkan rezekinya dan dihindarkan dari musibah itu bisa dikatakan ikhlas, bagaimana sebenarnya esensi atau hakikat ikhlas itu?
            Jawab: Tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah swt sesuai dengan firmannya : “Dan aku tidak jadikan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-dzariah:56). Sedangkan syarat diterimanya amal ibadah adalah ikhlas yaitu: ibadah itu dilaksanakan atas dasar ikhlas mencari ridho Allah sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi saw: “Allah tidak menerima amal ibadah melainkan yang dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah dan untuk memperoleh ridhonya.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
            Ikhlas dikalangan Ulama’ Sufi memiliki beberapa startifikasi atau tingkatan.  Tingkatan terendah adalah melakukan ibadah dengan harapan Allah swt akan memudahkan urusan duniawinya sebagai balasannya, seperti membaca Al-Qur’an surah Waqi’ah agar diberi kelancaran rezeki. Tingkatan menengah yaitu beribadah supaya memperoleh pahala atau surga dan terhindar dari dosa atau neraka. Tingkatan tertinggi bagi ikhlas adalah beribadah tanpa mengharap imbalan apapun, semata-mata menjalankan perintah untuk bertaqarub kepada Allah. Seakan-akan orang yang mencapai derajat ikhlas yang tertinggi ini berkata, “aku makhluk dan hamba yang sudah semestinya mengabdi kepada Allah swt, masalah ganjaran itu bukan urusan ku. Kewajiban ku adalah menjalankan perintahnya.” (Kifayah Al-Atqiyah:32)
            Dalam kitab I’anatut-Tholibin I/129 juga dijelaskan: “tingkatan ikhlas itu ada tiga, 1) tingkatan tertinggi ( ulya’) yaitu beramal ibadah hanya karena Allah semata, untuk mengikuti perintahnya dan melaksanakan hak kehambaannya. 2) tingkatan menengah (wustha) yaitu beramal ibadah utuk mendapatkan pahala di akhirat. 3) tingkatan terendah (dunya) yaitu beramal ibadah untuk mendapatkan kemuliaan di dunia dan keselamatan dari musibah. Selebihnya itu di namakan riya’ walaupun berbeda-beda caranya.
           
            Ikhlas itu bagian dari keharusan dalam beragama dan kesempurnaan iman, ia adalah rohnya amal dan beramal tanpa ikhlas bagaikan jasad tanpa nyawa, bagaikan pohon yang tidak berbuah dan awan yang tidak menghasilkan hujan.
Kebalikan ikhlas adalah riya’ yakni beribadah bukan karena Allah swt tetapi untuk memamerkan ibadahnya dihadapan manusia supaya dipuji dengan maksud-maksud tertentu. Riya’ itu juga dinamakan syirik kecil karena dosanya lebih kecil daripada syirik dalam pengertian menyekutukan Allah.
Jadi sebenarnya tidak ada larangan menggunakan bacaan Al-Qur’an, zikir-zikir, do’a-do’a atau bersedekah untuk kepentingan dunia  serta hajat-hajat yang baik sesudah niat ikhlas karena Allah, dan ini termasuk cara-cara bertawassul dengan amal-amal sholeh dan membaca Al-Qur’an dan hal ini hukumnya boleh, bahkan lebih cepat diterimanya, dan tidk ada perselisihan antar ulama’.(Madza fi sya’ban:112)
Dengan memperhatikan beberapa penjelasan di atas dapat di jelaskan bahwa beramal dengan harapan Allah akan melapangkan rezeki dan dijauhkan dari musibah itu termasuk ikhlas yang tingkatannya rendah. Wa Allahu ‘alam.

Selasa, 03 November 2015

Hukum Merusak Rumah Tangga Orang Lain



Belakangan ini film dan sinetron Indonesia sangat banyak mengambil tema mengenai perselingkuhan serta orang ketiga yang menjadi wanita atau pria perusak rumah tangga orang lain. Bahkan ternyata di dunia nyata pun, kasus tersebut sangat sering kita jumpai, baik itu melalui pemberitaan di media informasi atau pernah pula terjadi pada rekan dan kerabat kita. Sebab  terjadinya hal – hal tersebut pun beragam. Ada yang melakukan hal tersebut hanya karena harta atau karena cinta buta. Bagi mereka yang lemah imannya, harta dan cinta buta mungkin sangat mudah merasuk ke dalam hati mereka. Disebabkan oleh harta, seseorang mau melakukan hal apapun, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain. Baginya harta dapat membuatnya memiliki segala hal yang dia inginkan. Oleh karena itu, harga diri pun digadaikan untuk mendapatkan keinginannya tersebut. Ada pula yang melakukan hal tersebut disebabkan cinta buta. Keinginannya untuk mencintai seseorang dan memiliki seseorang tersebut secara utuh terkadang membutakan mata, hati dan fikiran. Disebabkan oleh cinta, seseorang yang telah terlanjur mencintai pria/wanita yang telah berumah tangga membuatnya nekat untuk merusak hubungan orang lain tersebut. Hal tersebut pun banyak pula faktornya, mungkin saja disebabkan cinta yang terhalang restu orang tua, si pasangan menikah dengan orang lain dan dia merasa dendam lalu merusak rumah tangga si pasangannya tersebut. Sebab lain mungkin pula disebabkan cinta yang tak tersampaikan, dikarena sesuatu si pasangan memutuskan dirinya dan menikah dengan yang lain lalu dia pun rela menjadi yang kedua (selingkuhan / simpanan) atau bisa juga dikarenakan dendam lalu ingin merusak rumah tangga si pasangan kemudian merayunya untuk dapat menikah kembali dengannya. Terlalu banyak faktor yang tak dapat dirincikan secara detail. Lantas, bagaimanakah islam memandang problematika hal tersebut??? Bagaimanakah hukum merusak rumah tangga orang lain????
Dalam pandangan Islam, upaya-upaya apapun yang merusak keutuhan rumah tangga orang lain adalah haram. Bahkan tindakan merusak hubungan rumah tangga orang lain termasuk dalam kategori dosa besar. Salah satu argumentasinya adalah meminang (khitbah) seorang perempuan yang sudah dipinang laki-laki lain saja dilarang, apalagi mendekati dan merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya. Dalam sebuah hadits dikatakan:
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (( مَنْ خَبَّبَ عَبْدًا عَلَى أَهْلِهِ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ أَفْسَدَ اِمْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا )) [حديث صحيح رواه أحمد والبزار وابن حبان والنسائي في الكبرى والبيهقي]
Artinya:
Dari Abî Hurairah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: “Rasulullâh – shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda: ‘Siapa menipu dan merusak (hubungan) seorang hamba sahaya dari tuannya, maka ia bukanlah bagian dari kami, dan siapa yang merusak (hubungan) seorang wanita dari suaminya, maka ia bukanlah dari kami'”. [Hadîts shahîh diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzâr, Ibn Hibbân, Al-Nasâ-î dalam al-Kubrâ dan Al-Baihaqî].
Dari penjelasan singkat ini maka dapat dipahami bahwa hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang statusnya masih bersuami adalah hubungan terlarang. Dan lelaki tersebut dianggap sebagai perusak. Jika pada akhirnya keduanya bercerai, kemudian si perempuan menikah dengan laki-laki selingkuhannya, apakah hubungan terlarang tersebut berdampak bagi status hukum pernikahan mereka.      
Bahkan Imam Al-Haitsamî mengkategorikan perbuatan dosa ini sebagai dosa besar. Dalam kitabnya Al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir beliau menyebutkan bahwa dosa besar yang ke 257 dan 258 yaitu merusak seorang wanita agar terpisah dari suaminya dan merusak seorang suami agar terpisah dari istrinya. Alasannya, hadîts nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – di atas menafikan pelaku perbuatan merusak ini dari bagian umat beliau, dan ini terhitung sebagai ancaman berat. Juga para ulama’ sebelumnya, secara sharîh (jelas) mengkategorikannya sebagai dosa besar. (lihat Al-Zawâjir juz 2, hal. 577).
Pendapat yang sangat keras pun disampaikan oleh Madzhab Maliki. Jika ada seseorang laki merusak hubungan seorang istri dengan suaminya, kemudian suaminya menceraikan perempuan tersebut, lantas laki-laki yang merusak hubungan itu, setelah selesai masa iddah, menikahinya maka pernikahannya harus dibatalkan, walaupun setelah terjadi akad nikah. Sebab terdapat kerusakan dalam akad.
وَقَالَ الشَّيْخُ عَلِيٌّ الْأَجْهُورِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى مَا نَصُّهُ ذَكَرَ الْأَبِيُّ مَسْأَلَةً مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا أَنَّهُ يُفْسَخُ , وَلَوْ بَعْدَ الْبِنَاءِ , فَإِنَّهُ نُقِلَ عَنْ ابْنِ عَرَفَةَ أَنَّ مَنْ سَعَى فِي فِرَاقِ امْرَأَةٍ لِيَتَزَوَّجَهَا فَلَا يُمْكِنُ مِنْ تَزْوِيجِهَا وَاسْتَظْهَرَ أَنَّهُ إنْ تَزَوَّجَ بِهَا يُفْسَخُ قَبْلَ الْبِنَاءِ وَبَعْدَهُ لِمَا يَلْزَمُ عَلَى ذَلِكَ مِنْ الْفَسَادِ

“Syaikh Ali al-Ajhuri ra berkata—bunyinya adalah—bahwa al-Abiyyu menjelaskan masalah orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya, bahwa pernikahan keduanya (lelaki yang merusak dan wanita yang dirusak) itu harus dibatalkan walau setelah akad nikah. Pandangan ini sebenarnya dinukil dari Ibnu Arafah yang menyatakan, bahwa barang siapa yang berusaha memisahkan seorang perempuan dari suaminya agar ia bisa menikahi perempuan tersebut, maka tidak mungkin baginya (tidak diperbolehkan, pent) untuk menikahinya. Dan hal ini menjadi jelas bahwa jika lelaki menikahihnya maka pernikahannya harus dibatalkan baik sebelum atau sesudah akad karena hal itu menyebakan kerusakan dalam (akad, pent)” (Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ‘Alisy, Fath al-‘Ali al-Malik fi al-Fatwa ‘ala Madzhab al-Imam Malik, Bairut-Dar al-Ma’rifah, tt, juz, 1, h. 397)              
Jika kita cermati pandangan Madzhab Maliki di atas, maka konsekwensinya adalah pihak perempuan yang telah diceraikan suaminya haram dinikahi oleh si lelaki yang menyebabkan perceraian tersebut selama-lamanya.  
Namun ada juga pandangan lain dari Madzhab Maliki yang menyatakan bahwa yang demikian itu tidak selamanya haram dinikahi. Dan hal ini dianggap tidak bertentangan dengan pandangan di atas yang menyatakan harus dibatalkan baik sebelum akad maupun setelahnya.
مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَطَلَّقَهَا زَوْجُهَا ثُمَّ تَزَوَّجَهَا الْمُفْسِدُ الْمَذْكُورُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا فَلَا يَتَأَبَّدُ تَحْرِيمُهَا عَلَيْهِ وَذَلِكَ لَا يُنَافِي أَنَّ نِكَاحَهُ يُفْسَخُ قَبْلَ الْبِنَاءِ وَبَعْدَهُ
“Barang siapa merusak hubungan seorang istri dengan suaminya kemudian si suami menceraikannya, lalu si lelaki perusak tersebut menikahinya setelah selesai masa iddah maka keharaman perempuan tersebut atas si lelaki perusak tidak menjadi selamanya. Dan hal itu tidak bertentangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa pernikahannya harus dibatalkan sebelum akad atau sesudahnya.” (‘Ali al-‘Adwi, Hasyiyah al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Ali al-‘Adwi pada Hamisy Abi ‘Abdillah Muhammad al-Kharsyi, Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil, Bulaq-al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1317 H, juz, 3, h. 170-171)       
Dalam kategori kaidah fiqih: man ta’ajjala syai-an qabla awânihi ‘ûqiba bihirmânihi (siapa yang terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka ia dihukum dengan tidak diperkenankan mendapatkan sesuatu itu). Kaidah ini pada asalnya berlaku bagi seseorang yang melamar dengan kata-kata sharîh seorang wanita yang masih dalam masa iddah (tunggu) pasca kematian suaminya. (Q.S. Al-Baqarah: 235). Logikanya, jika melamar dengan kata-kata sharîh terhadap seorang wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suaminya saja tidak dibenarkan, padahal dalam hal ini tidak ada aspek perusakan yang berakibat terciptanya perceraian wanita itu dari suaminya (karena memang suaminya telah meninggal), maka, jika ada seseorang yang merusak seorang wanita yang masih bersuami, sehingga tercipta perceraian wanita itu dari suaminya, hukumnya tentunya lebih berat daripada yang dimaksud dalam kaidah fiqih ini. Untuk itulah, jika akan terjadi pernikahan antara sang lelaki perusak hubungan dengan wanita “korban” tindakan perusakannya, maka, hal ini harus dicegah, dan jika sudah kadung terjadi pernikahan di antara keduanya, maka, pernikahan itu harus dibatalkan.
Sedang menurut Madzhab Hanafi dan Syafii perusakan terhadap hubungan istri dengan suaminya tidak mengharamkan pihak yang merusak untuk menikahinya. Tetapi pihak yang merusak itu termasuk orang yang paling fasik, tindakannya merupakan maksiat yang paling mungkar dan dosa yang paling keji di sisi Allah swt.
اَلْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ قَالُوا: إِنَّ إِفْسَادَ الزَّوْجَةِ عَلَى زَوْجِهَا لَا يُحَرِّمُهَا عَلَى مَنْ أَفْسَدَهَا بَلْ يَحِلُّ لَهُ زَوَاجُهَا وَلَكِنْ هَذَا الْإِنْسَانُ يَكُونُ مِنْ أَفْسَقِ الْفُسَّاقِ وَعَمَلُهُ يَكُونُ مِنْ أَنْكَرِ أَنْوَاعِ الْعِصَيَانِ وَأَفْحَشِ الذُّنُوبِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Para ulama Madzhab Hanafi dan Syafii berpendapat bahwa perusakan hubungan seorang istri dengan suaminya tidaklah menyebabkan haram bagi pihak laki-laki yang merusakknya untuk menikahinya, bahkan menikahinya itu halal bagi bagi si lelaki perusak. Tetapi si perusak ini termasuk orang yang paling fasik, tindakannya termasuk salah satu kemaksiatan yang paling mungkar, dan dosa yang paling keji di sisi Allah swt kelak pada hari kiamat.
Terlepas dari perbedaan pandangan para ulama mengenai hukum pernikahan orang yang merusak rumah tangga orang lain, yang jelas tindakan tersebut adalah masuk kategori dosa besar, dan sudah seharusnya dihindari. Dengan pertimbangan saddudz-dzariah (menutup jalan keburukan), maka pandangan dari Madzhab Maliki yang menyatakan bahwa lelaki yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya diharamkan untuk menikahinya selamanya, hemat kami perlu dijadikan pertimbangan.
Adapun beragam bentuk dan cara seseorang merusak hubungan diantara suami istri, di antaranya adalah:
1.      Berdoa dan memohon kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- agar hubungan seorang wanita dengan suaminya menjadi rusak dan terjadi perceraian di antara keduanya.
2.      Bersikap baik, bertutur kata manis dan melakukan berbagai macam tindakan yang secara lahiriah baik, akan tetapi, menyimpan maksud merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya (atau sebaliknya). Perlu kita ketahui terkadang sihir itu berupa tutur kata yang memiliki kemampuan “menghipnotis” lawan bicaranya. Rasulullâh –shallallâhu ‘alahi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari sebuah penjelasan atau tutur kata itu adalah benar-benar sihir”. (H.R. Bukhârî dalam al-Adab al-Mufrad, Abû Dâwud dan Ibn Mâjah.
3.      Memasukkan bisikan, kosa kata yang bersifat menipu dan memicu, serta memprovokasi seorang wanita agar berpisah dari suaminya (atau sebaliknya), dengan iming-iming akan dinikahi olehnya atau oleh orang lain, atau dengan iming-iming lainnya. Perbuatan seperti ini adalah perbuatan tukang sihir dan perbuatan syetan (Q.S. Al-Baqarah: 102). Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya Iblis menempatkan singgasananya di atas air, lalu menyebar anak buahnya ke berbagai penjuru, yang paling dekat dengan sang Iblis adalah yang kemampuan fitnahnya paling hebat di antara mereka, salah seorang dari anak buah itu datang kepadanya dan melapor bahwa dirinya telah berbuat begini dan begitu, maka sang Iblis berkata: ‘kamu belum berbuat sesuatu’, lalu seorang anak buah lainnya datang dan melapor bahwa dia telah berbuat begini dan begitu sehingga mampu memisahkan antara seorang suami dari istrinya, maka sang Iblis menjadikan sang anak buah ini sebagai orang yang dekat dengannya, dan Iblis berkata: ‘tindakanmu sangat bagus sekali’, lalu mendekapnya”. (H.R. Muslim [5032]).
4.      Meminta, atau menekan secara terus terang agar seseorang wanita meminta cerai dari suaminya atau agar seorang suami menceraikan istrinya dengan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).
Bentuk-bentuk seperti ini sangat tercela, dan termasuk dosa besar jika dilakukan oleh seseorang kepada seorang wanita yang menjadi istri orang lain, atau kepada seorang lelaki yang menjadi suami orang lain.
Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan terlarang ini, adakah ia perlu mendapatkan hukuman di dunia? Para ulama’ berpendapat bahwa perbuatan terlarang seperti ini, jika ada yang melakukan, maka hakim berwewenang menjatuhkan ta’zîr (hukuman yang ketentuannya ditetapkan oleh hakim atau penguasa) dengan syarat tidak melebihi bobot 40 cambukan. Di antara mereka ada yang berpendapat, hukumannya adalah kurungan penjara sampai ia menyatakan tobat atau meninggal dunia (sebagian penganut Mazhab Hanafî) Di antara mereka ada yang berpendapat pula, cukup diberi cambukan keras saja, dipublikasikan perbuatannya, agar orang waspada darinya dan agar orang lain mengambil ibrah (sebagian penganut madzhab Hanbalî). Bahkan Imam Ibnul Qoyyim mengatakan tentang hukum merusak hubungan wanita dengan suaminya: "Perbuatan ini termasuk salah dosa besar, Sebab, jika syari'at melaraang meminang pinangan saudaranya, maka bagaaimana halnya dengan orang yang merusak isterinya, serta berusaha memisahkan di antara keduanya sehingga dia bisa berhubungan dengannya. Perbuatan dosa ini tidak kurang dari perbuatan keji (zina), walaupun tidak melebihinya, dan hak lain tidak gugur dengan taubat dari kekejian. Karena taubat, meskipun telah menggugurkan hak Allah, namun hak hamba masih tetap ada. Menzalimi seseorang (suami) dengan merusak isterinya dan kejahatan terhadap ranjangnya, hal itu lebih besar dibandingkan merampas hartanya secara zalim. Bahkan, tidak ada (hukuman) yang setara disisinya kecuali (dengan) mengalirkan darahnya." (al-manawi dalam Faaidhul Qadiir)
Semoga kita terhindar dari hal – hal tersebut. WaAllahu A’lam.      



Senin, 02 November 2015

HUKUM MENJUAL DAGING QURBAN


 
Bukan sekedar rahasia lagi bagi kita yang mengetahui tentang fenomena menjual daging qurban. Fenomena menjual daging qurban ini malah semakin marak setiap tahunnya. Bahkan tidak jarang para penerima qurban secara terang – terangan melakukan hal tersebut di depan masjid setelah antre mengambil jatah daging qurban miliknya. Mereka yang menjual jatah daging qurban miliknya tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya : mereka lebih membutuhkan uang dibanding daging qurban tersebut, selain itu pula dikarenakan banyaknya daging qurban yang diterimanya sehingga merasa kewalahan untuk mengolahnya. Permasalahan ini pun timbul di masyarakat karena kebutuhan hidup masyarakat yang semakin meningkat. Harga bahan pokok dan harga kebutuhan masayarakat yang semakin mahal ditambah pula dengan rupiah yang makin melemah semakin menyekik leher masyarakat Indonesia. Dikarenakan hal tersebut pula, sebagaian masyarakat lebih memilih menjual jatah daging qurban mereka agar dapat ditukarkan dengan uang yang dapat memenuhi kebutuhan lainnya yang lebih mereka perlukan dibanding dari jatah daging qurban tersebut. Dari permasalahan tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan yakni bagaimanakah hukum menjual daging qurban tersebut di dalam hukum islam?
Pada dasarnya, prinsip qurban adalah sedekah yang diperuntukkan bagi kaum dhuafa serta fakir miskin secara cuma – cuma. Oleh karena itu, pemanfaatannya juga tidak boleh keluar dari batas – batas itu termasuk di dalamnya menjual anggota qurban. Dalam kitab Al – Iqna’ Fi Hal Alfaz Abi Syuja’ karangan Asy-Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbiniy disebutkan bahwa : tidak diperkenankan menjual sesuatu dari hewan qurban berdasar pada sebuah hadits riwayat Hakim sebagaimana berikut ini:
من باع جلد أضحية فلا أضحية له (رواه الحاكم)
Artinya: “Barangsiapa menjual kulit qurbannya, maka tidak ada qurban baginya”. (HR. Hakim)
Ini berarti penyembelihan itu hanya menjadi sedekah biasa tanpa mendapatkan keutamaan besar dari qurban. Tapi boleh bagi yang berqurban untuk mengambil kulitnya untuk dimanfaatkan menjadi sandal, sepatu, tempat air dan sebagainya. Namun demikian, tetap saja tidak boleh dijual, bahkan dianjurkan menyedehakan karena lebih utama.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa menjual daging qurban bagi panitia qurban atau orang yang berqurban hukumnya tidak boleh. Hal tersebut disebabkan karena qurban itu mempunyai prinsip untuk disedekahkan bukan untuk dijual. Kemudian pula, bagi yang berqurban boleh hukumnya mengambil bagian anggota tertentu dari hewan qurbannya untuk dimanfaatkan menjadi sesuatu benda seperti kulitnya untuk menjadi bedug dan lain sebagainya. Namun demikian, benda tersebut juga tidak boleh dijual.
Lantas, bagaimana jika yang menjual daging qurban tersebut bukanlah orang yang berqurban melainkan orang yang menerima jatah qurban?
Daging qurban disyaratkan untuk dibagikan kepada fakir miskin dalam keadaan mentah atau tidak berupa masakan. Ketentuan ini mengandung maksud agar fakir miskin dapat secara bebas mentasharufkannya, apakah itu untuk dimasak sendiri ataukah untuk dijual karena pada dasarnya daging itu adalah hak mereka. Dengan demikian, boleh – boleh saja bagi penerima daging qurban untuk menjual jatah daging qurbannya.
Maka dari penjelasan ini terjawablah sudah. Di sini saya hanya mengambil satu referensi, jika teman – teman punya referensi yang lain, boleh dong bagi – bagi. Mudah – mudah kita dapat selalu mencari hikmah dan jawaban dari segala yang telah diciptakan Allah dan yang telah diperintahkan-Nya.. J

Minggu, 01 November 2015

“Buang Angin Itu Kan Dari Bokong, Kenapa Yang Harus Dibasuh Bukan Bokong?”



Sekitar berapa bulan yang lalu, salah satu sinetron baru ditayangkan di SCTV dengan judul “Gue Juga Islam” yang ditayangkan pukul 17.00 WIB setiap harinya. Mungkin sudah banyak yang melihatnya. Saya sempet penasaran dengan alur cerita sinetron tersebut, sebab judulnya sangat ambigu menurut saya, bukan karena saya yang gemar melihat sinetron ya.
Salah satu adegan yang saya amati yakni ketika Aksan (yang diperankan oleh Niki Tirta) sebagai seseorang yang baru mengenal Islam akan belajar tentang Islam lebih dalam kepada Bang Ali (yang diperankan oleh Idrus Madani). Aksan diajak Bang Ali untuk ikut sholat berjama’ah, namun sebelum itu Aksan harus mengambil wudhu terlebih dahulu. Setelah Aksan selesai mengambil wudhu, Aksan pun memasuki mesjid. Ternyata di dalam mesjid, Bang Ali sudah menunggunya. Bang Ali pun bertanya : “Uda siap loe wudhu, san?”. Aksan pun menjawab : “Uda bang, tapi tadi abis wudhu, kelepasan bang (buang angin)”. Bang Ali pun tertawa dengan ciri khas tawanya itu kemudian menyuruh Aksan wudhu lagi. Namun Aksan malah kebingungan dan berujar, “Kan yang “kentut” itu “pantat” bang! Kenapa harus wudhu lagi? Kan wudhu itu gak membasuh “pantat”?”. Bang Ali kembali tertawa dan kemudian menjawab, “kalo loe “kentut” di depan banyak orang, yang malu muka loe atau “pantat” loe?”. Aksan pun menjawab sambil tertawa malu, “muka bang”. Setelah mengerti maksud Bang Ali, Aksan pun wudhu kembali.
Menarik bukan alur ceritanya. Pernah tidak kita memikirkan hal tersebut atau pernah tidak kita menanyakkan hal tersebut atau bahkan pernah tidak kita mencari jawaban dari hal tersebut. Jawab sendiri di hati masing – masing saja ya. Banyak hal sepele yang sering kita lakukan, tetapi kita tak mau mencari tahu jawaban dan maksud di balik hal tersebut. Mungkin ada yang bilang itu kurang kerjaan atau tidak terlalu penting. Tetapi pernahkah kita ketahui bahwa Allah tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia – sia. Oleh sebab itu, segala hal yang diciptakan oleh Allah pasti punya maksud dan tujuannya. Hanya saja, kita sebagai manusia yang menjadi satu – satunya makhluk yang diberikan akal pikiran tidak mau untuk mencari tahunya. Padahal banyak hikmah yang Allah titipkan melalui semua ciptaan-Nya di alam ini.
Back to title, yuk. “Buang angin itu kan dari bokong, kenapa yang harus dibasuh itu bukan bokong?”. Mengulik dari hal tersebut, ternyata banyak kisah yang bisa menjawabnya. Salah satunya cerita berikut ini: ada seorang dusun (orang kampung) yang datang ke kota untuk mengobati bisulnya yang tumbuh di leher. Menurut kata orang - orang dikampungnya hanya dokterlah yang dapat mengobati penyakitnya. Lalu ia pun berkonsultasi kepada seorang dokter. Setelah mengadakan diagnosa seperlunya atas penyakit itu, lalu dokter menyuruh orang tersebut untuk membuka celananya agar diberi suntikan di pinggulnya. Orang dusun itu pun mulai ragu, dia berpikir bisul yang ada di leher kok pinggulnya yang disuntik. Setelah beberapa hari bisul tersebut juga tidak kunjung sembuh. Ia makin menyakini bahwa dokter tersebut bodoh. Nah, dari penggalan kisah tersebut, apa yang ada dipikiran kita? Siapakah yang salah dalam hal ini? Orang dusun tersebutkah? Ataukah dokternya? J
Jawaban Bang Ali pada adegan di sinetron tersebut terkesan seperti lelucon, tetapi padahal jawabannya adalah sebuah jawaban yang benar. Ketika kita buang angin di hadapan banyak orang, apalagi dengan suara yang keras, sudah tentu kita akan menjadi malu bukan. Tetapi bagian manakah yang akan terlihat malu? Wajahkah atau bokong? Dan jawaban Aksan tersebut sangat benar juga, sebab pasti wajah kita yang akan terlihat malu bahkan bisa jadi wajah tersebut akan berwarna merah padam atau bahkan kita akan langsung kabur menjauhi keramaian tersebut.
Berbicara masalah buang angin, bisa dikaitkan dengan masalah fiqh dong terutama pada masalah thoharoh dan berwudhu’. Ayuk kita bahas masalah fiqhnya. Di sini saya akan mengutip referensi dari salah satu kitab fiqh yakni Kitab Hasyiyah Syaikh Ibrohim al Bajuri ‘Ala fathul Qorib bil Mujib Juz I halaman 50, yakni sebagai berikut:
و اعلم أنهم قسموا الطهارة إلى عينية و حكمية : فالعينية هى التى لم تجاوز محل حلول موجبها كطهارة النجاسة, فإنها لا تتجاوز أى لا تتعدى المحل الذى حل فيه موجبها وهو النجاسة, إذ لا يجب غسل غير محلها. و الحكمية هى التى جاوزت محل حلول موجبها كاوضوء, فإنه تجاوز أى تعدى المحل الذى حل فيه موجبها وهو خروخ شىء من أحد السبيلين مثلا, إذ لم يقتصر على غسل ذلك المحل بل وجب غسل الأعضاء المعروفة.
Terjemahannya yakni berikut ini: “Dan ketahuilah bahwasanya mereka (ulama’ Fuqoha) membagi thoharoh (bersih atau suci) itu kepada Thoharoh ‘Ainiyyah dan Thoharoh Hukmiyyah: maka yang ‘Ainiyyah itu yaitu yang tidak melampaui ia akan tempat terjadinya yang menyebabkannya itu seperti menyucikan atau membersihkan najis. Maka sesungguhnya makna “tidak melampaui” itu berarti tidak melewati tempat berdiamnya sesuatu tersebut pada yang menyebabkan hal tersebut (hadirnya atau datangnya hal tersebut) dan yaitulah najis, karena tidak wajib membasuh selain tempatnya. Dan yang Hukmiyyah itu yaitu yang melampaui tempat terjadinya yang menyebabkannya itu seperti wudhu’, maka sesungguhnya makna “melampaui” itu berarti melewati tempat berdiamnya atau terjadinya sesuatu/hal tersebut pada yang menyebabkan hal tersebut (hadirnya atau datangnya hal tersebut) dan yaitulah keluarnya sesuatu dari salah satu dua jalan umpamanya (dubur dan qubul), karena tidak terbatas atas membasuh tempat tersebut bahkan wajib membasuh anggota – anggota tertentu”.
Nah, dari penjelasan di atas maka dapat diketahui dan difahami bahwa thoharoh itu terbagi dalam dua kelompok yakni kelompok thoharoh ‘ainiyyah dan thoharoh hukmiyyah. Thoharoh ‘ainiyyah adalah yang tidak melampaui penyuciannya dari tempat sebabnya seperti mencuci najis. Jika kita mencuci najis maka tidak lebih dari batas tempat dimana najis itu berada saja. Artinya yang disucikan itu adalah bagian benda yang terkena najis saja. Sedangkan thoharoh hukmiyyah itu adalah yang melampaui penyuciannya dari tempat sebabnya seperti halnya buang angin, menyentuh kemaluan, menyentuh bukan mahrom, dan sebagainya. Jika hal tersebut terjadi, maka thoharohnya atau cara menyucikannya adalah wajah, tangan, menyapu kepala dan membasuh kaki (berwudhu’). Artinya yang disucikan itu adalah hukumnya bukan bendanya.
Maka dari penjelasan ini terjawablah sudah. Di sini saya hanya mengambil satu referensi, jika teman – teman punya referensi yang lain, boleh dong bagi – bagi. Mudah – mudah kita dapat selalu mencari hikmah dan jawaban dari segala yang telah diciptakan Allah dan yang telah diperintahkan-Nya. Belajarlah dari hal yang sepele karena bisa jadi hal yang sepele itu malah menjadi hal yang sangat luar biasa. J